Naaahhhhh, postinganku kali ini tentang apa yaa? hmm, yup mau bahas tentang KIR Smunel. apa itu KIR? Karya Ilmiah Remaja. Apa itu Smunel? SMA Neg. 5 Makassar. kenapa ada huruf "U" di "Smunel" na tidak ada di kepanjangannya huruf "U"? banyak na tanya na anne e. baca mi dulu lah.
Kali ini lagi mau kasih testimoni tentang KIR di Smunel. Konon kabarnya sudah menghilang di bumi Smunel. Kasihan kasihan kasihan (ala Upin Ipin). Jadi, baca sendiri yaa:
Saat pertama kali mendengar istilah KIR di Smunel, yang ada di kepalaku itu adalah mata pelajaran Keterampilan ilmu Rumahtangga, hahaha. Itu nama mata pelajaran waktu saya masih duduk di bangku SMP, disingkat KIR. Saat mengetahui apa itu KIR yang dimaksud di Smunel, terpetik keinginan kuat untuk ikut serta kegiatan KIR di Pinrang. Maka saat pendaftaran dibuka, saya ikut mendaftar. Ikut tes seleksi yang betul betul menggunakan kreativitas, dapat ditebak hasilnya: tidak lulus. Yup, dari 5 orang siswa berjenis kelamin laki laki di kelas, ada dua yang tidak lulus salah satunya saya. Mungkin pikiranku terlalu “lurus” jadi tidak bisa memunculkan kreativitas atau “lintasan pemikiran”, istilah yang kudapat dari pembina KIR saat mengajar matematika. Namun ternyata, Allah punya rencana indah pada hamba-Nya. Gagal ikut KIR ke Pinrang, saya malah berangkat ke KKIR tingkat nasional di salah satu pondok pesantren di Tulungagung pada tahun yang sama mewakili Smunel.
Ya, inilah salah satu hal yang membuat KIR begitu menarik. Hal yang pertama dibentuk ada: SENSITIVITAS. Saat ini, manusia seringkali kehilangan rasa sensitif pada lingkungan. Dengan KIR, para siswa dituntut dan dimotivasi untuk menimbulkan rasa sensitif itu dengan sebuah ungkapan: “MENCARI MASALAH”. Setelah itu apa lagi? Ya, KREATIVITAS. Para siswa akan mengeluarkan semua ide dan akan mengolah apa yang dimiliki untuk menemukan sebuah solusi dari masalah yang ada. Bukankah masyarakat butuh solusi dari masalah yang ada? Maka para siswa yang telah membuat suatu karya ilmiah akan memproses solusi tersebut. Hanya itu? Tidak! Masih ada lagi. KERANGKA BERPIKIR ILMIAH. Ini yang menjadi dasar dalam bertindak. Jujur, hal ini yang sebenarnya mendewasakan seorang siswa. Dari cara berpikirnya. Sehingga tidak ada lagi asumsi menjadi kesimpulan tanpa ada proses berpikir ilmiah sebelumnya. Sebenarnya ada satu lagi yang didapatkan dari KIR, tapi saya yakin siapa pun pasti tahu itu: KERJASAMA. Seseorang tak akan bisa melarung ke dunia ilmiah seorang diri tanpa adanya budaya diskusi dengan rekan lainnya.
Mungkin ada yang berpikir, KIR di Smunel itu kaku. kujawab dengan tegas: tidak!!! santai namun tetap serius. kejahilan dan "calla" adalah hal yang membuat dunia ini terasa dinamis. "Ja'dala dan calla" justru membuat sensitivitas, kreativitas, berpikir ilmiah dan kerjasama muncul. tidak percaya? silakan coba sendiri.
Sayang sekali jika KIR harus tenggelam oleh arus waktu di lautan bernama Smunel. Saya pernah dapat informasi bahwa KIR pernah masuk jadi mata pelajaran kelas 3. Padahal, disini siswa dilatih untuk menyelesaikan masalah dengan rasa sensitive, kreativitas dan pola berpikir ilmiah yang dimiliki. Parahnya, hal ini justru dianggap hal yang aneh bagi beberapa siswa yang kritis pada sistem pendidikan namun apatis pada diri sendiri.
Cukup demikian dari saya. Mungkin terlalu panjang. Yang jelas, KIR itu sangat bermanfaat bagi siswa. Kelak di bangku kuliah, mereka akan mendapatkan mata kuliah yang lumayan mirip: metode penelitian yang menjadi dasar untuk penelitan mereka.
Terima kasih
Saat pertama kali mendengar istilah KIR di Smunel, yang ada di kepalaku itu adalah mata pelajaran Keterampilan ilmu Rumahtangga, hahaha. Itu nama mata pelajaran waktu saya masih duduk di bangku SMP, disingkat KIR. Saat mengetahui apa itu KIR yang dimaksud di Smunel, terpetik keinginan kuat untuk ikut serta kegiatan KIR di Pinrang. Maka saat pendaftaran dibuka, saya ikut mendaftar. Ikut tes seleksi yang betul betul menggunakan kreativitas, dapat ditebak hasilnya: tidak lulus. Yup, dari 5 orang siswa berjenis kelamin laki laki di kelas, ada dua yang tidak lulus salah satunya saya. Mungkin pikiranku terlalu “lurus” jadi tidak bisa memunculkan kreativitas atau “lintasan pemikiran”, istilah yang kudapat dari pembina KIR saat mengajar matematika. Namun ternyata, Allah punya rencana indah pada hamba-Nya. Gagal ikut KIR ke Pinrang, saya malah berangkat ke KKIR tingkat nasional di salah satu pondok pesantren di Tulungagung pada tahun yang sama mewakili Smunel.
Ya, inilah salah satu hal yang membuat KIR begitu menarik. Hal yang pertama dibentuk ada: SENSITIVITAS. Saat ini, manusia seringkali kehilangan rasa sensitif pada lingkungan. Dengan KIR, para siswa dituntut dan dimotivasi untuk menimbulkan rasa sensitif itu dengan sebuah ungkapan: “MENCARI MASALAH”. Setelah itu apa lagi? Ya, KREATIVITAS. Para siswa akan mengeluarkan semua ide dan akan mengolah apa yang dimiliki untuk menemukan sebuah solusi dari masalah yang ada. Bukankah masyarakat butuh solusi dari masalah yang ada? Maka para siswa yang telah membuat suatu karya ilmiah akan memproses solusi tersebut. Hanya itu? Tidak! Masih ada lagi. KERANGKA BERPIKIR ILMIAH. Ini yang menjadi dasar dalam bertindak. Jujur, hal ini yang sebenarnya mendewasakan seorang siswa. Dari cara berpikirnya. Sehingga tidak ada lagi asumsi menjadi kesimpulan tanpa ada proses berpikir ilmiah sebelumnya. Sebenarnya ada satu lagi yang didapatkan dari KIR, tapi saya yakin siapa pun pasti tahu itu: KERJASAMA. Seseorang tak akan bisa melarung ke dunia ilmiah seorang diri tanpa adanya budaya diskusi dengan rekan lainnya.
Mungkin ada yang berpikir, KIR di Smunel itu kaku. kujawab dengan tegas: tidak!!! santai namun tetap serius. kejahilan dan "calla" adalah hal yang membuat dunia ini terasa dinamis. "Ja'dala dan calla" justru membuat sensitivitas, kreativitas, berpikir ilmiah dan kerjasama muncul. tidak percaya? silakan coba sendiri.
Sayang sekali jika KIR harus tenggelam oleh arus waktu di lautan bernama Smunel. Saya pernah dapat informasi bahwa KIR pernah masuk jadi mata pelajaran kelas 3. Padahal, disini siswa dilatih untuk menyelesaikan masalah dengan rasa sensitive, kreativitas dan pola berpikir ilmiah yang dimiliki. Parahnya, hal ini justru dianggap hal yang aneh bagi beberapa siswa yang kritis pada sistem pendidikan namun apatis pada diri sendiri.
Cukup demikian dari saya. Mungkin terlalu panjang. Yang jelas, KIR itu sangat bermanfaat bagi siswa. Kelak di bangku kuliah, mereka akan mendapatkan mata kuliah yang lumayan mirip: metode penelitian yang menjadi dasar untuk penelitan mereka.
Terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar