Rabu, 03 Maret 2010
Supersemar
Supersemar "Kudeta" Suharto
by: JakaTarub
Pengarang : Tim CIA Publication
Diterbitkan di: Januari 27, 2008
Sampai meninggal pada Minggu, 27 Januari 2008, mantan presiden Soeharto masih meninggalkan kontroversi. Selain masalah status hukum atas dugaan korupsi, yang belum tuntas hingga dibawa mati, banyak alur sejarah yang ditorehkan Orde Baru masih belum jelas. Surat Perintah Sebelas Maret atau yang dikenal dengan Supersemar, misalnya, merupakan momen sejarah yang hingga kini masih kontroversial. Bukan hanya soal di mana naskah asli Supersemar itu disimpan, dan naskah yang asli seperti apa, tetapi lebih dari itu: dalam situasi bagaimana surat perintah itu diberikan kepada Mayor Jenderal Soeharto. Yang lebih penting lagi bagaimana pemegang Supersemar mengemban amanat dan mempertanggungjawabkan amanat itu. Dengan memegang Supersemar, Soeharto mempunyai wewenang dan kekuasaan apa pun untuk mengendalikan situasi politik Indonesia saat itu, termasuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan membasmi tokoh-tokoh dan anggota PKI di seluruh pelosok Tanah Air. Buku kecil setebal 168 halaman ini mengungkap kesaksian sejumlah tokoh mengenai lahirnya Supersemar 1966. Diterbitkan oleh Center for Information Analysis, Yogyakarta, 1998, setelah Soeharto dilengserkan oleh gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa, antara lain buku ini mengungkap kesaksian Soekardjo Wilardjito. Kesaksian Letda (Inf) Soekardjo muncul pada Agustus 1998 mengenai penodongan Brigjen M. Panggabean kepada Bung Karno agar Panglima Besar Revolusi Indonesia itu bersedia menandatangani Supersemar. Dua hal baru mencuat dari keterangan Soekardjo, yakni keterlibatan M. Panggabean serta penodongan terhadap Bung Karno sebelum penandatanganan Supersemar dilakukan (hlm 41-42). Sementara itu itu, mengutip buku Soebadio Sastrosatomo, Era Baru Pemimpin Baru: Badio Menolak Rekayasa Rezim Orde Baru (1997), dikatakan bahwa telah terjadi penyalahgunaan Supersemar. Lewat Supersemar, Soeharto mendapat perintah dari Soekarno untuk menyelamatkan revolusi. Surat Perintah itu jelas tidak berisi pelimpahan kekuasaan, melainkan pelimpahan tugas. Selaku yang diperintahkan, Soeharto berkewajiban melapor kepada Soekarno mengenai apa yang dikerjakan sesuai dengan perintah itu. Tetapi kewajiban itu tidak dilaksanakan oleh Soeharto yang notabene masih menjadi bawahan Bung Karno (hlm 18). Karena itu, buku ini menyimpulkan bahwa Supersemar adalah ”Coup d’etat” Soeharto atas pemerintahan Soekarno. Lalu di mana naskah asli Supersemar? Pada halaman 138 buku ini, dikutip penjelasan dari Dr M Noor Syam, sekretaris laboratorium Pancasila IKIP Malang. Dia mendapat informasi bahwa naskah Supersemar saat ini dipegang oleh keluarga Haji Mas Agung (almarhum), seorang pengusaha yang pernah dekat dengan Bung Karno. Namun, naskah yang dipegang itu bukanlah naskah yang diserahkan kepada Soeharto, melainkan naskah asli salinan yang sebelumnya dipegang oleh Bung Karno (hlm 139). Sebenarnya sebagian isi buku ini sudah pernah disinggung oleh para sejarawan, termasuk sejarawan asing. Nah, setelah Soeharto jatuh dari kekuasaan pada 1998, berbagai kesaksian dari tokoh muncul. Seperti mendapat ruang terbuka, dengan lengsernya presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu, kesaksian itu begitu lepas dan dimuat di media masa kala itu. Persoalannya adalah sejarah Supersemar masih membutuhkan kesaksian atau pengakuan dari tiga perwira tinggi militer yang ditugaskan Soeharto menemui Soekarno di Istana Bogor, yakni M Panggabean, Basuki Rachmat dan Amirmachmud. Dan terutama dari Soeharto sendiri. Namun para pelaku sejarah itu sendiri sekarang sudah meninggal. Saksi kunci, Soeharto, telah pergi untuk selamanya pada 27 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina setelah dirawat 24 hari. Bagaimanapun sejarah harus diluruskan. Buku ini, walau kecil dan seperti kompilasi cuplikan dari media massa serta buku, tetap berguna untuk mengingatkan bahwa meninggalnya Soeharto mewariskan sejarah yang tidak jelas.
Sumber http: www.shvoong.com dengan perubahan seperlunya
Surat Perintah Sebelas Maret
Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.
Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Isi Supersemar
Berikut adalah cuplikan Supersemar:
............................................................................................................................................................................
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SURAT PERINTAH
I. Mengingat:
1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik nasional maupun Internasional
1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/Presiden/Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966
II. Menimbang:
2.1. Perlu adanja ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan djalannja Revolusi.
2.2. Perlu adanja djaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI dan Rakjat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala adjaran-adjarannja
III. Memutuskan/Memerintahkan:
Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT
Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:
1. Mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimin Besar revolusi/mandataris M.P.R.S. demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknja.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu jang bersangkuta-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.
Djakarta, 11 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S.
SOEKARNO
…………………………………………………………………………………………………………………
Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah Supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Keluarnya Supersemar
Menurut versi resmi, awalnya keluarnya Supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden, Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S/PKI di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidak hadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai skenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amir Machmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat itu ia menerima telepon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai surat Supersemar itu tiba.
Beberapa Kontroversi tentang Supersemar
• Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya berkomentar "Lho ini khan perpindahan kekuasaan". Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan dimana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia. Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
• Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
• Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amir Machmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dini hari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno menginap di Istana Merdeka, Jakarta untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap di istana untuk menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta. A.M Hanafi sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat ke sana terlebih dahulu. Dan menurutnya mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari istana merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta ijin untuk datang ke Bogor. Dan semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi di luar istana sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa, rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi yang datang ke Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak hadir.
• Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
• Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, lembaga ini berkali-kali meminta kepada Jendral (purn) M. Jusuf saksi terakhir hingga akhir hayatnya (8 September 2004), agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, M. Saelan, bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha Arsip Nasional itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada tanggal 27 Januari 2008 membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.
Dengan kesimpang siuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar